KOMPAS, SENIN, 21 APRIL 2008
FORUM
===================================
Mumpuni, tetapi Buta Huruf
Oleh: KUSHANDAJANI
Judul di atas menggambarkan seorang Darsi, penari perempuan yang populer di era tahun 70-an. (Kompas, 15/11/2007). Seorang yang mumpuni menari dan segala pengetahuan yang berhubungan dengan kesenian Jawa, tetapi buta huruf.
Pernyataan mumpuni tapi buta huruf, menunjuk pada kemampuan perempuan untuk menekuni pekerjaan secara profesional, meskipun profesionalitasnya diperoleh melalui pengasahan diri, tanpa sekolah. Lebih menyedihkan jika pernyataan berubah menjadi “tidak mumpuni dan buta huruf”, sudah buta huruf dan sekaligus tidak memiliki peluang untuk mengasah diri.
Keduanya sebenarnya merupakan refleksi dari kehidupan perempuan umumnya di Indonesia. Mahluk yang mampu menjalani berbagai peran baik dalam keluarga maupun sosial, mumpuni bertarung di ranah publik dengan menduduki jabatan-jabatan bergengsi, tetapi tetaplah dianggap buta huruf manakala berhadapan dengan ranah publik, apalagi kepentingan politik.
Kondisi dan posisi perempuan, baik di dalam keluarga maupun masyarakat, khususnya di Jawa, dapat digambarkan dalam percakapan sehari-hari antara dua orang ibu yang memiliki anak gadis. Sapaan akrab seperti: “Apa anak wedokmu wis payu ?” (apakah anak perempuanmu sudah laku) sudah biasa didengar.
Bahkan ada gambaran yang lebih jelas bagaimana masyarakat mengkonstruksi posisi perempuan dan lelaki, seperti peribahasa ‘duwe anak lanang kaya lagi dodolan emas, nanging duwe anak wedok kaya dodolan lombok’ (punya anak lelaki ibarat sedang berjualan emas, sedangkan punya anak perempuan ibarat berjualan cabai).
Dua benda yang disepadankan dengan posisi lelaki dan perempuan sangatlah sexist, yang pertama menunjukkan benda yang sangat dipuja manusia dengan nilai ekonomi tinggi, sementara yang lain adalah benda yang biasa ditemui di pasar-pasar tradisional dengan harga murah. Yang pertama menunjuk pada kemuliaannya karena mampu bertahan ratusan tahun, sedangkan yang lain relatif hanya bertahan tiga hari, bahkan jika terlalu lama akan membusuk.
Terus hidup
Hasil konstruksi sosial tersebut terlihat masih terus hidup dalam masyarakat, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam keluarga yang memiliki anak-anak lelaki dan perempuan, pembedaan peran sangatlah mencolok.
Disadari ataupun tidak orang tua selalu mendorong si anak perempuan untuk selalu melayani kebutuhan sehari-hari keluarga bagi ayah dan saudara-saudara lelakinya, seperti memasak, mencuci, dan bahkan dijejali ukuran sosial bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang mampu melayani kebutuhan semua anggota keluarga.
Bagaimana jika situasi tersebut diletakkan dalam konteks politik ? Di mana posisi dan peran perempuan ? Peran perempuan dalam politik selalu dihitung dengan prosentase: berapa prosen yang bisa jadi anggota legislatif, berapa prosen yang bisa jadi kepala daerah, berapa prosen yang menjadi aktivis partai, dan sebagainya.
Pernahkah ada kalkulasi tentang peran perempuan dalam membentuk karakter anak dalam berpolitik ? Perempuan atau ibu adalah manusia pertama yang mengenalkan anak-anak pada dunia sosial . Perempuan pulalah yang mengenalkan anak-anak pada nilai-nilai yang secara tidak langsung membentuk karakter politik mereka di masa dewasa, saat terekrut dalam proses politik nanti.
Gambaran suram perpolitikan kita, sebenarnya juga mencerminkan peran para perempuan/ibu dalam melakukan fungsi pendidikan politik dalam keluarga. Nilai-nilai utama yang seharusnya dijunjung tinggi seperti kejujuran, tanggungjawab, bisa jadi telah bergeser secara drastis digantikan oleh nilai-nilai yang praktis, realistis, dan ekonomis semata karena pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki oleh para ibu.
Oleh sebab itu para perempuan sendiri seyogyanya berjuang mengubah konstruksi sosial yang ada, dimana peran di ranah domestik adalah sama mulianya, sama derajatnya dengan peran di ranah publik, sebagaimana orang melihatnya dalam skala nominal, bukan dalam skala interval apalagi rasio.
Sama kualitas
Seorang aktivis politik perempuan, yang mampu berpidato berapi-api di depan publik, pada hakekatnya juga sama kualitasnya dengan seorang perempuan yang menentukan sendiri pilihannya sebagai ibu rumah tangga. Yang paling penting adalah apakah pilihan-pilihan yang ada memang betul-betul diciptakan oleh perempuan, dan jatuhnya pilihan karena pertimbangan si perempuan. Ini masalah pilihan.
Akan menjadi masalah besar jika pilihan-pilihan yang ada diciptakan , sebagai hasil dari konstruksi sosial yang ada. Situasi yang sangat menyedihkan bagi siapapun adalah manakala dihadapkan pada ketiadaan pilihan.
Itulah sebabnya mengapa perempuan atau ibu seharusnya terdidik dan memiliki wawasan yang luas, bukan untuk mengungguli para priya dalam berebut pekerjaan ataupun mendominasi pria dalam keluarga, tetapi lebih karena perannya yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter seorang anak.
Apakah itu gambaran yang terlalu muluk ? Tidak juga, karena sudah banyak keluarga yang mencerminkan kesetaraan gender, dimana istri dipandang lebih sebagai patner dibanding sebagai pembantu rumah tangga, seperti tercermin dari sapaan sang suami di suatu pagi: “Hai patner, apa rencana kita hari ini ?”
KUSHANDAJANI
Dosen Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIP Universitas
Diponegoro Semarang